BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mu’amalah adalah satu
aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban Islam yang maju di masa lalu.
Ia merupakan satu bagian dari syari’at Islam, yaitu yang mengatur kehidupan
manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam. Karena mu’amalah
merupakan aspek dari ajaran Islam, maka ia juga mengandung aspek teologis dan
spiritual. Aspek inilah yang merupakan dasar dari mu’amalah tersebut.
Sehubungan dengan itu
bimbingan mualamah menjadi penting, karena masalahnya komplek, ia berkaitan
dengan masalah rohani dan jasmani, manusia dan alam, dunia akhirat. Disamping
itu bimbingan mu’amalah akan mengarahkan kehidupan duniawi, dan mendapatkan
ganjaran diakhirat.
Dalam makalah ini
membahas mu’amalah tentang jual beli, dimana manusia dijadikan Allah SWT
sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah
yang ada di muka bumi sebagai sumber ekonomi.
Landasan Syariah Jual
Beli dan Jual Beli Allah telah berfirman dalam Al-Quran, 275. orang-orang yang
Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Riba itu ada dua macam:
nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang
yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Maksudnya: orang yang
mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. Riba
yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
(QS. Al-Baqarah 2:275).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana system
transaksi jual beli bersyarat?
2.
Bagaimana
transaksi jual beli bersyarat dalam pandangan hukum islam?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui
sistem transaksi yang dilakukan dengan jual beli bersyarat.
2. Untuk mengetahui
transaksi jual beli bersyarat dalam pandangan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Jual Beli
Menjual adalah
memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu
menerimanya. Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum
muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia
kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya
kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai
kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
B. Hukum
Jual Beli
Jual beli adalah
perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas Allah Ta'ala berfirman : " Dan
Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah" Allah
Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman
(rizki) dari Rabbmu " (Al
Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji) Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda "Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling
memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur
dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat),
maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya
saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual
beli dari keduanya" (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami
no. 2886).
Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli,
adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada
perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada
orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan
dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang
lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai
kepada tujuan yang dikehendaki. .
C. Akad
Jual Beli
Akad jual beli bisa
dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
•
Bentuk perkataan
terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan "
saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan
"saya beli "
•
Bentuk perbuatan
yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan
memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan
(pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).
Dan kadang bentuk akad
terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata Syaikh
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran.
Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti
ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil,
demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan
"ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
Pembeli
mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah
harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam
perjanjian.(dihutangkan)
Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun,
bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu
yang telah dihargai.
D. Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan
(barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau
gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut
adalah sbb :
Ø Bagi
yang beraqad
Adanya saling ridha
keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah
satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan)
berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha
diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda
"hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu
Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah
perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana
seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna
membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
Yang beraqad adalah orang yang
diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang
merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari
anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi
adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli
rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli
jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati
posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada
Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu"
(diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya
jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.
Berkata Al Wazir Ibnu
Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu
yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual
dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya,
maka jual beli ini bathil
Ø Bagi
(Barang) yang di aqad
1. Barang
tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak
sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer,
alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam
" Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung
(Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer
dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan
harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis,
berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu
(barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi:
disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya
lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk
dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya
itu adalah haram.".
2. Yang
diaqad baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan
(dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai
sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli
seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung
yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang
bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang
menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri..
3. Barang
yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena
ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan,
sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak
melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya.
Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam
kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh
seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus
engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam
melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku,
maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu
anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil
memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi
(dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka
apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "
E. Khiyar
(memilih) dalam Jual Beli
Sesungguhnya agama
Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil (menyeluruh) meliputi
segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai maslahat dan keadaan,
mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Termasuk dalam maslahat
tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli berupa hak
memilih bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan dia
bisa melihat maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut sehingga
dia bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual
belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya.
1. Pengertian
Khiyar
Khiyar (memilih) dalam jual beli
maknanya adalah memilih yang terbaik dari dua perkara untuk melangsungkan atau
membatalkan akad jual beli. Khiyar terdiri dari delapan macam :
Khiyar Masjlis (pilihan majelis)
Khiyar Syarat
Khiyar Ghobn
Khiyar Tadlis
Khiyar Aib
Khiyar Takhbir Bitsaman
Khiyar bisababi takhaluf
Khiyar ru’yah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mu’amalah dalam jual
beli tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena antara manusia
saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dan mu’amalah dalam jual beli manusia harus berdasarkan ajaran Islam
agar mendapat karunia Allah, agar manusia mengerti dengan hukum-hukum mu’amalah
dalam jual beli dan agar tidak ada yang dirugikan.
B. Saran
Kita sebagai umat Islam
patutlah kita melaksanakan syari’at Islam yang telah ditentukan, agar kita
mengerti hukum-hukum Islam dan mendapat ridho dan karunia Allah disetiap apa
yang kita lakukan dan salah satunya dalam urusan jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Syeh dkk, 2008, Fiqh Jual Beli, Jakarta: Senayan Publishing
Al-Fauzan,
Saleh, 2005, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani Press
Ali,
Zainuddin, 2006, Hukum Perdata Islam DI Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Arikunto,
Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, cet. II
Azwar,
Saifuddin, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1
Blaxter,
Loraine, dkk, 2001, How To Re search, Jakarta: Indeks
Departemen Agama
RI, 1994, Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: Kumudasmoro
Djuwaini,
Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Doi, A.Rahman I,
Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta: PT.Raja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar