penyatuan alam

penyatuan alam
hewan dan lingkungan sekitar

Rabu, 22 Juli 2015

makalah tarekat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun perlu kehati-hatian  juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).
Memang seluk-beluk tarekat tidak bisa dijabarkan dengan mudah karena setiap tarekat-tarekat tersebut memiliki filsafat dan cara pelaksanaan amal ibadah masing-masing. Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan tentang tarekat dalam makalah ini. Meskipun makalah ini tidak bisa memuat hal-hal yang berkaitan dengan tarekat secara menyeluruh, tapi paling tidak makalah ini cukup mampu untuk memperkenalkan kita pada terekat tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian tarekat?
2.      Apa saja unsur-unsur tarekat?
3.      Apa tujuan tarekat?
4.      Bagaimana sejarah dan perkembangan tarekat?
5.      Apa saja tarekat-tarekat yang muktabarah di Indonesia?



C. Tujuan
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan dan tujuan tersebut harus tercapai, adapun tujuan penelitian dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apa pengertian tarekat
2.      Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur tarekat
3.      Untuk mengetahui apa tujuan tarekat
4.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan tarekat
5.      Untuk mengetahui apa saja tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia























BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tarekat
Istilah tarekat diambil dari bahasa Arab thariqah yang berarti jalan atau metode. Dalam terminologi sufistik, tarekat adalah jalan atau metode khusus untuk mencapai tujuan spiritual.
Secara terminologis, menurut Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf sebagai jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atau, metode psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali Tuhannya. Sedangkan J.S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah “a practical method (other terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a seeker by tracing a way of thought, feeling and action, leading a succession of stages (maqamat, an integral association with psycological experience called ‘states,’ ahwal) to experience of Divine Reality (haqiqa)” –metode praktis (bentuk-bentuk lainnya, mazhab, ri’ayah dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqamat, kesatuan yang utuh dari pengalaman jiwa yang disebut ‘states,’ ahwal) secara beruntun untuk merasakan hakikat Tuhan.”[2]
Adapun “thariqat” menurut istilah ulama Tasawuf:
1.      Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf.
2.      Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai suatu tujuan.[3]
Berdasarkan beberapa definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf.[4]
Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, muraqabah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui sederet amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama. Dari pengikut biasa (mansub) menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (khalifah-nya) dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).[5]
B. Unsur-Unsur Tarekat
Dalam tarekat, setidaknya ada lima unsur penting yang menjadi dasar terbentuknya sebuah tarekat. Kelima hal tersebut adalah:
1.      Mursyid
Mursyid adalah dianggap telah mencapai tahap mukasyafah, telah terbuka tabir antara dirinya dan Tuhan. Mursyid atau guru atau master atau pir bertugas menemani dan membimbing para penempuh jalan spiritual untuk mendekati Allah, seperti yang terjadi pada diri sang guru. Guru spiritual itu kadang disebut dengan istilah thayr al-quds (burung suci) atau Khidir. Dalam tarekat, bimbingan guru yang telah mengalami perjalanan rohani secara pribadi dan mengetahui prosedur-prosedur setiap mikraj rohani adalah sangat penting.[6]
2.      Baiat
Baiat atau talqin adalah janji setia seorang murid kepada gurunya, bahwa ia akan mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh sang guru, tanpa “reserve”.[7]
3.      Silsilah
Silsilah tarekat adalah “nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.[8]
4.      Murid
Murid atau kadang disebut salik adalah orang yang sedang mencari bimbingan perjalanannya menuju Allah. Dalam pandangan pengikut tarekat, seorang yang melakukan perjalanan rohani menuju Tuhan tanpa bimbingan guru yang berpengalaman melewati berbagai tahap (maqamat) dan mampu mengatasi keadaan jiwa (hal) dalam perjalanan spiritualnya, maka orang tersebut mudah tersesat.[9]
5.      Ajaran
Ajaran adalah praktik-praktik dan ilmu-ilmu tertentu yang diajarkan dalam sebuah tarekat. Biasanya, masing-masing tarekat memiliki kekhasan ajaran dan metode khusus dalam mendekati Tuhan. Guru-guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama kepada murid-muridnya.[10]

C. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia
Tarekat-tarekat itu banyak sekali, ada tarekat-tarekat yang merupakan induk, diciptakan oleh tokoh-tokoh tasawwuf ‘Aqidah, dan ada tarekat-tarekat yang merupakan perpecahan daripada tarekat induk itu, sudah dipengaruhi oleh pendapat Syeikh-Syeikh tarekat yang mengamalkan di belakangnya atau oleh keadaan setempat, keadaan bangsa yang menganut tarekat-tarekat itu. Banyak di antara perpecahan tarekat-tarekat itu disusun dalam atau diberi istilah-istilah yang sesuai dengan tempat perkembangannya. Tarekat Naksyabandi misalnya banyak ditulis orang dalam bahasa dan memakai istilah-istilah Persi.[16]
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di Indonesia telah ada badan yang khusus menumpahkan perhatiannya kepada tarekat-tarekat, yang sudah diselidiki kebenarannya, yang dinamakan tarekat mu’tabarah (yang dianggap sah –pen). Seorang tokoh tarekat terkemuka, Dr. Syeikh H. Jalaluddin, telah banyak menulis tentang tarekat-tarekat, terutama tentang Kadiriyah Naksyabandiyah. Ia menerangkan, bahwa di antara tarekat yang mu’tabar ada 41 macam, sebagai berikut:
1. Th. Kadiriyyah, 2. Th. Naksyabandiyah, 3. Th. Syaziliyah, 4. Th. Rifa’iyyah, 5. Th. Ahmadiyyah, 6. Th. Dasukiyyyah, 7. Th. Akbariyah, 8. Th. Maulawiyyah, 9. Th. Qurabiyyah, 10. Th. Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12. Th. Jalutiyyah, 13. Th. Bakdasiyah, 14. Th. Ghazaliyah, 15. Th. Rumiyyah, 16. Th. Jatsiyyah, 17. Th. Sya’baniyyah, 18. Th. Shiddiqiyyah, 19. Th. Qusyasyiyyah, 20. Th. Tijaniyyah, 21. Th. ‘Alawiyyah, 22. Th. ‘Usyaqiyyah, 23. Th. Bakriyyah, 24. Th. ‘Umariyyah, 25. Th. ‘Usmaniyyah, 26. Th. ‘Aliyyah, 27. Th. Abbasiyah, 28. Th. Haddadiyyah, 29. Th. Maghribiyyah, 30. Th. Ghaibiyyah, 31. Th. Hadiriyyah, 32. Th. Syattariyyah, 33. Th. Bayumiyyah, 34. Th. Aidrusiyyah, 35. Th. Sanbliyyah, 36. Th. Malawiyyah, 37. Th. Anfasiyyah, 38. Th. Sammaniyyah, 39. Th. Sanusiyyah, 40. Th. Idrisiyah, dan 41. Th. Badawiyyah.[17]
Adapun tarekat-tarekat muktabarah tersebut yang berkembang di Indonesia antara lain:
1.      Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani al-ghawsts atau quthb al-awliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun, generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.[18] Pada awalnya beliau adalah seorang ahli fiqh yang terkenal dalam madzhab Hambali, kemudian setelah beralih kegemarannya pada ilmu tarekat dan hakekat menunjukkan keramat dan tanda-tanda yang berlainan dengan kebiasaan sehari-hari. Orang dapat membaca sejarah hidup dan keanehan-keanehannya dalam kitab yang dinamakan Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani, asli tertulis dalam bahasa Arab, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tersiar luas di negeri kita, yang dibaca oleh rakyat pada waktu-waktu tertentu, konon untuk mendapatkan berkahnya.[19]
            Di Indonesia Tarekat Qadiriyah berkembang dengan baik, bahkan bercabang, seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[20] Proses masuknya Tarekat Qadiriyah ke Indonesia dikisahkan lewat penyair besar Hamzah Fansuri.[21]
            Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah tauhid, sedang pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. [22]
            Menurut Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah pemurnian akidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasaan jauh.[23]
2.      Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain.[24]
            Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.[25]
            Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[26]
            Tarekat Syadziliyah tidak meletakkan syarat-syarat yang berat kepada Syeikh tarekat, kecuali mereka harus meninggalkan semua perbuatan maksiat, memelihara segala ibadat yang diwajibkan, melakukan ibadat-ibadat sunnat sekuasanya, zikir kepada Tuhan sebanyak mungkin, sekurang-kurangnya, seribu kali sehari semalam, istighfar seratus kali, shalawat kepada Nabi sekurang-kurangnya seratus kali sehari semalam, serta beberapa zikir lain. Kitab Syadziliyah meringkaskan sebanyak dua puluh adab, lima sebelum mengucapkan zikir, dua belas dalam mengucapkan zikir, dan tiga sesudah mengucapkan zikir.[27]
3.      Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf yang terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.[28]
            Tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak.[29]
            Tarekat yang berkembang di Indonesia adalah Tarekat Naqsyabandiyah, merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya.[30] Tarekat ini tersebar hampir ke seluruh provinsi yang ada di tanah air, yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Inilah satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. [31] Berbeda dengan tarekat lain, Tarekat Naqsyabandiyah tidak hanya menyeru kepada lapisan sosial tertentu saja, para pengikutnya berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pedesaan, di kota-kota kecil serta ada juga di kota-kota besar, dan dari semua kelompok profesi. Ada beberapa cabang atau aliran Tarekat Naqsyabandiyah, seperti: Qadariyah Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah Samaniyah dan Naqsyabandiyah Mazhariyah. Salah satu dari Tarekat Naqsyabandiyah yang cukup banyak pengikutnya adalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dikembangkan oleh Prof. DR. Kadirun Yahya, MSc (dikenal dengan sebutan syeikh Kadirun, yang sekaligus sebagai Mursyid).[32]
4.      Tarekat Syattariyyah
Nama Syattariyyah dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w. 890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawandi (539-632 H/1145-1234 M), ulama sufi yang memopulerkan Tarekat Suhrawandiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri, Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawandi (490-563 H/1079-1168 M).[38]
Awal perkembangan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi wafat.[39] Sementara itu, Syaikh Burhanuddin Ulakan diyakini sebagai ulama pertama yang mengembangkan Tarekat Syattariyyah di Sumatera Barat.[40] Di Jawa Barat sendiri, ajaran Tarekat Syattariyah dibawa Syaikh Abdul Muhyi, yang juga adalah murid dari Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Murid-murid Tarekat Syattariyyah di Jawa Barat hingga sekarang masih banyak dijumpai, antara lain di Pamijahan, Tasikmalaya, Purwakarta, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan lain-lain.
Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyyah masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat, atau apa yang disebut sebagai neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyyah masih dapat bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.[41]
5.      Tarekat Sammaniyah
Nama tarekat ini diambil dari seorang guru taswwuf yang masyhur, disebut Muhammad Samman, seorang guru tarekat yang ternama di Madinah, pengajarannya banyak dikunjungi orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena itu tarekatnya banyak tersiar di Aceh, biasa disebut tarekat Sammaniyah. Ia meninggal di Madinah pada tahun 1720 M.[42]
            Tarekat Sammaniyah adalah tarekat pertama yang mendapat pengikut massal di Nusantara. Hal yang menarik dari Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syahadat yang terucapkan olehnya tidak bertentangan dengan syariat. Kesimpulan ini bisa dibuktikan dengan mencoba menafsirkan syahadat yang terucapkan oleh Syaikh Samman. Dan dalam kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahr sendiri jelas-jelas disebutkan bahwa Syaikh Samman adalah seorang sufi yang telah menggabungkan antara syariat dan tarekat (al-jami’ baina al-syari’ah wa al-thariqah).[43]
            Mungkin dapat dipastikan bahwa di daerah Sulawesi Selatan-lah Tarekat Sammaniyah masih banyak para pengikutnya hingga kini.[44] Selain di Sulawesi Selatan, denyut kehidupan meriah Tarekat Sammaniyah juga terjadi di Kalimantan Selatan.[45]
6.      Tarekat Tijaniyah
Salah satu tarekat yang terdapat juga di Indonesia di samping tarekat-tarekat yang lain ialah tarekat Tijaniyah. Dalam tahun berapa tarekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui orang dengan pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini di Cirebon. Seorang Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, berasal dari Madinah, menulis sebuah berkepala “Kitab Munayatul Murid” (Tasikmalaya, 1928 M.) berisi beberapa petunjuk mengenai tarekat ini, dan kitab itu terdapat tersebar luas di Cirebon khususnya, dan di Jawa Barat umumnya.[46] Berdasarkan kahadiran Syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah at-Tayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M (antara 1918 dan1921 M).[47]
            Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhamma al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.[48]
            Tarekat Tijaniyah ini mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali. Boleh dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore, pagi sesudah sembahyang Subuh sampai sembahyang Dzuha, sore sesudah sembahyang Ashar sampai sembahyang Isya’. Wazifahnya terdiri dari “astaghfirullah al-adzim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyum” (saya minta ampun kepada Allah, yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, Ia selalu hidup dan mengawasi), sebanyak tigapuluh kali, kemudian dibaca shalatul fatih, yang berbunyi “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad al-fatihi lima ughliqa, wal khatimi lima sabaqa, nasirul haqqi bil haqqi, wal hadi ila shiratil mustaqim, wa ala alihi haqqa qadrihi wa miqdarihil adzim (Ya, Tuhanku! Berikanlah rahmat kepada penghulu kami Muhammad, yang terbuka baginya apa yang tertutup, yang menjadi penutup bagi semua yang sudah lampau, pembantu kebenaran dengan kebenaran, orang yang menunjuki kepada jalan yang benar, begitu juga atas keluarganya sekadar yang layak dengan kadar yang besar) lima puluh kali, dan bacaan “la ilaha illallah” (tidak ada Tuhan melainkan Allah) seratus kali, kemudian barulah ditutup dengan do’a yang dinamakan Jauharatul kamal, sebanyak dua belas kali, didapat dalam kitab “Fathur Rabbani”, pada halaman enam puluh. Sebenarnya pembacaan wazifah ini boleh petang hari tapi yang baik adalah pada malam harinya, sekurang-kurangnya dua kali, pagi dan sore. Khusu pada hari Jum’at, terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, sebanyak yang tidak ditentukan sejak sudah sembahyang Ashar sampai terbenamnya matahari.[49]
    
7.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah muncul sebagai tarekat sufi sekitar tahun 1850-an atas kreativitas seorang syaikh sufi asal Kalimantan, yaitu Ahmad Khatib Sambasi yang pernah bermukim di Makkah. Ia menyatukan dan mengembangkan metode spiritual dua tarekat sufi besar, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi satu tarekat yang saling melengkapi yang dalam mengantarkan seseorang pada pencapaian spiritual. Secara universal, ajarannya sama dengan tarekat sufi lainnya, yakni memberikan keseimbangan secara mendalam bagi para anggotanya dalam menjalankan syariat Islam dan memelihara segala aspek yang ada di dalamnya. Selain itu, melalui metode “psikologis-moral”, Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah berusaha membimbing seseorang agar dapat memahami dan merasakan hakikat beribadah kepada Tuhannya secara sempurna serta membentuk serta membentuk kesadaran kolektif dalam membangun kesatuan jamaah spiritual dan moral.[50]
Sebagai lembaga keagamaan, secara tidak langsung Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah telah membangun sistem sosial-organik yang cukup kuat di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Hal ini karena tarekat itu selalu mengembangkan tiga aspek (tradisi) yang terus diperkenalkan dan diajukan, terutama kepada para anggota jamaahnya. Ketiga aspek itu adalah: pertama, ajaran pusat teladan (the doctrine of the exemplary centre) terhadap guru spiritual: syaikh, khalifah atau badal-nya (pengganti sementara saat syaikh atau khalifah tidak ada –pen). Kedua, ajaran keruhanian bertingkat (the doctrine of the graded spirituality) bagi seluruh anggotanya dalam menaiki jenjang spiritual secara kompetitif dan terbuka. Ketiga, ajaran tentang lingkungan atau wilayah ideal (the doctrine of the theatre centre), suatu zona yang meniscayakan nilai-nilai keagamaan dapat terlaksana dan terpelihara dengan baik.[51]
Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa di tahun tujuh puluhan, empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu: Rejoso, Jombang di bawah pimpinan Kiai Tamim; Mranggen dipimpin oleh Kiai Muslih, Suryalaya, Tasikmalaya di bawah pimpinan K.H. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom); dan Pegentongan, Bogor dipimpin oleh Kiai Thohir Falak. Silsilah Rejoso didapat dari jalur Ahmad Hasbullah, Suryalaya dari jalur Kiai Tholhah. Cirebon dan yang lainnya dari jalur Syaikh ‘Abd al-Karim Banten dan khalifah-khalifah.[52]




BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan antara lain:
Istilah tarekat diambil dari bahasa Arab thariqah yang berarti jalan atau metode. Sedangkan pengertian tarekat secara istilah adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf. Ia bisa juga berarti sebuah pengorganisasian dari tasawuf.
Unsur-unsur terpenting dalam tarekat ada lima: 1. Mursyid (guru), 2. Baiat (janji setia), 3. Silsilah (hubungan antar guru), 4. Murid, dan 5. Ajaran.
Adapun tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna.
Pada awalnya, tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu diamalkan oleh Ali ibn Abi Thalib. Kemudian kemunculan tarekat sendiri diawali dengan pengklasifikasian antara syariat, tahriqat, haqiqat, dan makrifat oleh para sufi. Barulah pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi muncul tarekat sebagai kelanjutan dari pemikiran kaum sufi tersebut. Sedangkan kehadiran tarekat di Indonesia sama tuanya dengan kehadiran Islam. Namun hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia.
Dalam perkembangannya, tarekat-tarekat terpecah menjadi banyak sesuai guru dan keadaan lingkungan masing-masing. Ada 41 macam tarekat-tarekat yang dianggap sah, adapun yang berkembang di Indonesia antara lain:
1.      Tarekat Qadiriyah
2.      Tarekat Syadziliyah
3.      Tarekat Naqsyabandiyah
4.      Tarekat Khalwatiyah
5.      Tarekat Syattariyah
6.      Tarekat Sammaniyah
7.      Tarekat Tijaniyah
8.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
B.   Saran                      
Dalam memahami tarekat tidak cukup hanya dengan mempelajari sekilas saja. Karena seluk-beluk tarekat sangatlah rumit dan penuh dengan teka-teki. Sebab ruang lingkup tarekat adalah spiritual yang tidak bisa dipelajari kecuali dengan pengalaman batiniyah tersendiri.
























DAFTAR PUSTAKA

Atjeh,       Aboebakar, 1985. Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik). Solo: Ramad          hani.
Burhani,   Ahmad Najib, 2002. Tarekat tanpa Tarekat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Mulyati,   Sri, dkk, 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Said,        H.A. Fuad, 2005. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Sila,          Muh. Adlin, dkk, 2007. Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di tengah Kehidupan Modern. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.

Thohir,     Ajid, 2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa. Bandung: Pustaka Hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar