BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tarekat merupakan
bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf
terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat.
Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai
ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri
merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun
perlu kehati-hatian juga karena tidak
sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan
ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu,
perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang
dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).
Memang seluk-beluk
tarekat tidak bisa dijabarkan dengan mudah karena setiap tarekat-tarekat
tersebut memiliki filsafat dan cara pelaksanaan amal ibadah masing-masing. Oleh
karena itu, penulis berusaha menjelaskan tentang tarekat dalam makalah ini.
Meskipun makalah ini tidak bisa memuat hal-hal yang berkaitan dengan tarekat
secara menyeluruh, tapi paling tidak makalah ini cukup mampu untuk
memperkenalkan kita pada terekat tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa
pengertian tarekat?
2. Apa
saja unsur-unsur tarekat?
3. Apa
tujuan tarekat?
4. Bagaimana
sejarah dan perkembangan tarekat?
5. Apa
saja tarekat-tarekat yang muktabarah di Indonesia?
C.
Tujuan
Setiap penelitian pasti
memiliki tujuan dan tujuan tersebut harus tercapai, adapun tujuan penelitian
dalam makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui apa pengertian tarekat
2. Untuk
mengetahui apa saja unsur-unsur tarekat
3. Untuk
mengetahui apa tujuan tarekat
4. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan tarekat
5. Untuk
mengetahui apa saja tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarekat
Istilah tarekat diambil
dari bahasa Arab thariqah yang berarti jalan atau metode. Dalam terminologi
sufistik, tarekat adalah jalan atau metode khusus untuk mencapai tujuan
spiritual.
Secara terminologis,
menurut Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf sebagai
jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Atau, metode psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali
Tuhannya. Sedangkan J.S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah “a
practical method (other terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a
seeker by tracing a way of thought, feeling and action, leading a succession of
stages (maqamat, an integral association with psycological experience called
‘states,’ ahwal) to experience of Divine Reality (haqiqa)” –metode praktis
(bentuk-bentuk lainnya, mazhab, ri’ayah dan suluk) untuk membimbing murid
dengan menggunakan pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan
(maqamat, kesatuan yang utuh dari pengalaman jiwa yang disebut ‘states,’ ahwal)
secara beruntun untuk merasakan hakikat Tuhan.”[2]
Adapun “thariqat” menurut istilah ulama
Tasawuf:
1. Jalan
kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf.
2. Cara
atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai suatu tujuan.[3]
Berdasarkan beberapa
definisi yang tersebut di atas, jelaslah bahwa thariqat adalah suatu jalan atau
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih
dan Tasawuf.[4]
Tarekat juga berarti
organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan,
setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa murid ini
kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu
mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama
mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, muraqabah yang sama. Seorang
pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui sederet amalan-amalan
berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama. Dari
pengikut biasa (mansub) menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh
(khalifah-nya) dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).[5]
B.
Unsur-Unsur Tarekat
Dalam tarekat,
setidaknya ada lima unsur penting yang menjadi dasar terbentuknya sebuah
tarekat. Kelima hal tersebut adalah:
1. Mursyid
Mursyid adalah dianggap
telah mencapai tahap mukasyafah, telah terbuka tabir antara dirinya dan Tuhan.
Mursyid atau guru atau master atau pir bertugas menemani dan membimbing para
penempuh jalan spiritual untuk mendekati Allah, seperti yang terjadi pada diri
sang guru. Guru spiritual itu kadang disebut dengan istilah thayr al-quds
(burung suci) atau Khidir. Dalam tarekat, bimbingan guru yang telah mengalami
perjalanan rohani secara pribadi dan mengetahui prosedur-prosedur setiap mikraj
rohani adalah sangat penting.[6]
2. Baiat
Baiat atau talqin
adalah janji setia seorang murid kepada gurunya, bahwa ia akan mengikuti apa pun
yang diperintahkan oleh sang guru, tanpa “reserve”.[7]
3. Silsilah
Silsilah tarekat adalah
“nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain
sampai kepada Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil
dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi. Kalau tidak demikian
halnya berarti tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.[8]
4. Murid
Murid atau kadang
disebut salik adalah orang yang sedang mencari bimbingan perjalanannya menuju
Allah. Dalam pandangan pengikut tarekat, seorang yang melakukan perjalanan
rohani menuju Tuhan tanpa bimbingan guru yang berpengalaman melewati berbagai
tahap (maqamat) dan mampu mengatasi keadaan jiwa (hal) dalam perjalanan
spiritualnya, maka orang tersebut mudah tersesat.[9]
5. Ajaran
Ajaran adalah
praktik-praktik dan ilmu-ilmu tertentu yang diajarkan dalam sebuah tarekat.
Biasanya, masing-masing tarekat memiliki kekhasan ajaran dan metode khusus
dalam mendekati Tuhan. Guru-guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama
kepada murid-muridnya.[10]
C.
Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia
Tarekat-tarekat itu
banyak sekali, ada tarekat-tarekat yang merupakan induk, diciptakan oleh
tokoh-tokoh tasawwuf ‘Aqidah, dan ada tarekat-tarekat yang merupakan perpecahan
daripada tarekat induk itu, sudah dipengaruhi oleh pendapat Syeikh-Syeikh
tarekat yang mengamalkan di belakangnya atau oleh keadaan setempat, keadaan
bangsa yang menganut tarekat-tarekat itu. Banyak di antara perpecahan
tarekat-tarekat itu disusun dalam atau diberi istilah-istilah yang sesuai
dengan tempat perkembangannya. Tarekat Naksyabandi misalnya banyak ditulis
orang dalam bahasa dan memakai istilah-istilah Persi.[16]
Sebagaimana kita
ketahui, bahwa di Indonesia telah ada badan yang khusus menumpahkan perhatiannya
kepada tarekat-tarekat, yang sudah diselidiki kebenarannya, yang dinamakan
tarekat mu’tabarah (yang dianggap sah –pen). Seorang tokoh tarekat terkemuka,
Dr. Syeikh H. Jalaluddin, telah banyak menulis tentang tarekat-tarekat,
terutama tentang Kadiriyah Naksyabandiyah. Ia menerangkan, bahwa di antara
tarekat yang mu’tabar ada 41 macam, sebagai berikut:
1. Th. Kadiriyyah, 2. Th.
Naksyabandiyah, 3. Th. Syaziliyah, 4. Th. Rifa’iyyah, 5. Th. Ahmadiyyah, 6. Th.
Dasukiyyyah, 7. Th. Akbariyah, 8. Th. Maulawiyyah, 9. Th. Qurabiyyah, 10. Th.
Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12. Th. Jalutiyyah, 13. Th. Bakdasiyah, 14.
Th. Ghazaliyah, 15. Th. Rumiyyah, 16. Th. Jatsiyyah, 17. Th. Sya’baniyyah, 18.
Th. Shiddiqiyyah, 19. Th. Qusyasyiyyah, 20. Th. Tijaniyyah, 21. Th. ‘Alawiyyah,
22. Th. ‘Usyaqiyyah, 23. Th. Bakriyyah, 24. Th. ‘Umariyyah, 25. Th.
‘Usmaniyyah, 26. Th. ‘Aliyyah, 27. Th. Abbasiyah, 28. Th. Haddadiyyah, 29. Th.
Maghribiyyah, 30. Th. Ghaibiyyah, 31. Th. Hadiriyyah, 32. Th. Syattariyyah, 33.
Th. Bayumiyyah, 34. Th. Aidrusiyyah, 35. Th. Sanbliyyah, 36. Th. Malawiyyah,
37. Th. Anfasiyyah, 38. Th. Sammaniyyah, 39. Th. Sanusiyyah, 40. Th. Idrisiyah,
dan 41. Th. Badawiyyah.[17]
Adapun tarekat-tarekat muktabarah
tersebut yang berkembang di Indonesia antara lain:
1. Tarekat
Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama
tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani, yang
terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani al-ghawsts atau quthb
al-awliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah
spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi
tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia
Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah
kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar
pada pemikiran dan sikap umat Islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam
keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun, generasi selanjutnya mengembangkan
sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga
muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.[18] Pada awalnya beliau adalah
seorang ahli fiqh yang terkenal dalam madzhab Hambali, kemudian setelah beralih
kegemarannya pada ilmu tarekat dan hakekat menunjukkan keramat dan tanda-tanda
yang berlainan dengan kebiasaan sehari-hari. Orang dapat membaca sejarah hidup
dan keanehan-keanehannya dalam kitab yang dinamakan Manaqib Syeikh Abdul Qadir
Jailani, asli tertulis dalam bahasa Arab, dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia tersiar luas di negeri kita, yang dibaca oleh rakyat pada waktu-waktu
tertentu, konon untuk mendapatkan berkahnya.[19]
Di Indonesia Tarekat
Qadiriyah berkembang dengan baik, bahkan bercabang, seperti Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah.[20] Proses masuknya Tarekat Qadiriyah ke Indonesia
dikisahkan lewat penyair besar Hamzah Fansuri.[21]
Pada dasarnya ajaran Syaikh
‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok
Islam, terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir
adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi
Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak terpuji. Menurut
al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah
tauhid, sedang pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin.
[22]
Menurut Syaikh ‘Ali ibn
al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah pemurnian
akidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady ibn Musafir
mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah garis
keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin.
Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat
manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasaan jauh.[23]
2. Tarekat
Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak
dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili.
Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya Syadziliyah yang
mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain.[24]
Secara lengkap nama
pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili.
Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti
Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah
menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd.
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin
Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.[25]
Tarekat ini berkembang pesat
antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia,
juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[26]
Tarekat Syadziliyah tidak
meletakkan syarat-syarat yang berat kepada Syeikh tarekat, kecuali mereka harus
meninggalkan semua perbuatan maksiat, memelihara segala ibadat yang diwajibkan,
melakukan ibadat-ibadat sunnat sekuasanya, zikir kepada Tuhan sebanyak mungkin,
sekurang-kurangnya, seribu kali sehari semalam, istighfar seratus kali,
shalawat kepada Nabi sekurang-kurangnya seratus kali sehari semalam, serta
beberapa zikir lain. Kitab Syadziliyah meringkaskan sebanyak dua puluh adab,
lima sebelum mengucapkan zikir, dua belas dalam mengucapkan zikir, dan tiga
sesudah mengucapkan zikir.[27]
3. Tarekat
Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat
Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf yang terkenal yakni, Muhammad bin
Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389
M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara
tempat lahir Imam Bukhari.[28]
Tarekat Naqsyabandiyah adalah
sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada
masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama
kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan
India. Di Asia tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di
kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai zawiyah (padepokan sufi) dan
rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas
keagamaan yang semarak.[29]
Tarekat yang berkembang di
Indonesia adalah Tarekat Naqsyabandiyah, merupakan tarekat yang jumlah
pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya.[30] Tarekat ini
tersebar hampir ke seluruh provinsi yang ada di tanah air, yakni sampai ke
Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatera,
Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Inilah
satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk
mayoritas muslim. [31] Berbeda dengan tarekat lain, Tarekat Naqsyabandiyah
tidak hanya menyeru kepada lapisan sosial tertentu saja, para pengikutnya
berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pedesaan, di kota-kota kecil serta ada
juga di kota-kota besar, dan dari semua kelompok profesi. Ada beberapa cabang
atau aliran Tarekat Naqsyabandiyah, seperti: Qadariyah Naqsyabandiyah,
Naqsyabandiyah Khalidiyah, Naqsyabandiyah Samaniyah dan Naqsyabandiyah
Mazhariyah. Salah satu dari Tarekat Naqsyabandiyah yang cukup banyak
pengikutnya adalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dikembangkan oleh
Prof. DR. Kadirun Yahya, MSc (dikenal dengan sebutan syeikh Kadirun, yang
sekaligus sebagai Mursyid).[32]
4. Tarekat
Syattariyyah
Nama Syattariyyah
dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w. 890 H/1485 M), seorang
ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh,
Umar Suhrawandi (539-632 H/1145-1234 M), ulama sufi yang memopulerkan Tarekat
Suhrawandiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh pamannya sendiri,
Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawandi (490-563 H/1079-1168 M).[38]
Awal perkembangan
Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad
17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi
wafat.[39] Sementara itu, Syaikh Burhanuddin Ulakan diyakini sebagai ulama
pertama yang mengembangkan Tarekat Syattariyyah di Sumatera Barat.[40] Di Jawa
Barat sendiri, ajaran Tarekat Syattariyah dibawa Syaikh Abdul Muhyi, yang juga
adalah murid dari Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Murid-murid Tarekat
Syattariyyah di Jawa Barat hingga sekarang masih banyak dijumpai, antara lain
di Pamijahan, Tasikmalaya, Purwakarta, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan
lain-lain.
Demikianlah, hingga
saat ini, Tarekat Syattariyyah masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia,
dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi
antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat, atau apa yang disebut sebagai
neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa
awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyyah masih dapat
bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.[41]
5. Tarekat
Sammaniyah
Nama tarekat ini
diambil dari seorang guru taswwuf yang masyhur, disebut Muhammad Samman,
seorang guru tarekat yang ternama di Madinah, pengajarannya banyak dikunjungi
orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena itu
tarekatnya banyak tersiar di Aceh, biasa disebut tarekat Sammaniyah. Ia
meninggal di Madinah pada tahun 1720 M.[42]
Tarekat Sammaniyah adalah
tarekat pertama yang mendapat pengikut massal di Nusantara. Hal yang menarik
dari Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat
al-wujud yang dianut dan syahadat yang terucapkan olehnya tidak bertentangan
dengan syariat. Kesimpulan ini bisa dibuktikan dengan mencoba menafsirkan
syahadat yang terucapkan oleh Syaikh Samman. Dan dalam kitab Manaqib Syaikh
al-Waliy al-Syahr sendiri jelas-jelas disebutkan bahwa Syaikh Samman adalah
seorang sufi yang telah menggabungkan antara syariat dan tarekat (al-jami’ baina
al-syari’ah wa al-thariqah).[43]
Mungkin dapat dipastikan
bahwa di daerah Sulawesi Selatan-lah Tarekat Sammaniyah masih banyak para
pengikutnya hingga kini.[44] Selain di Sulawesi Selatan, denyut kehidupan
meriah Tarekat Sammaniyah juga terjadi di Kalimantan Selatan.[45]
6. Tarekat
Tijaniyah
Salah satu tarekat yang
terdapat juga di Indonesia di samping tarekat-tarekat yang lain ialah tarekat
Tijaniyah. Dalam tahun berapa tarekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui
orang dengan pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini
di Cirebon. Seorang Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama Ali bin Abdullah
At-Thayyib Al-Azhari, berasal dari Madinah, menulis sebuah berkepala “Kitab
Munayatul Murid” (Tasikmalaya, 1928 M.) berisi beberapa petunjuk mengenai
tarekat ini, dan kitab itu terdapat tersebar luas di Cirebon khususnya, dan di
Jawa Barat umumnya.[46] Berdasarkan kahadiran Syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah
at-Tayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke
Indonesia pada awal abad ke-20 M (antara 1918 dan1921 M).[47]
Tarekat Tijaniyah didirikan
oleh Syaikh Ahmad bin Muhamma al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di
‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun.
Syaikh Ahmad Tijani diyakini kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki
derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor
genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.[48]
Tarekat Tijaniyah ini
mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya
terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus
kali. Boleh dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore, pagi sesudah
sembahyang Subuh sampai sembahyang Dzuha, sore sesudah sembahyang Ashar sampai
sembahyang Isya’. Wazifahnya terdiri dari “astaghfirullah al-adzim alladzi la
ilaha illa huwal hayyul qayyum” (saya minta ampun kepada Allah, yang tidak ada
Tuhan melainkan Dia, Ia selalu hidup dan mengawasi), sebanyak tigapuluh kali,
kemudian dibaca shalatul fatih, yang berbunyi “Allahumma shalli ala sayyidina
Muhammad al-fatihi lima ughliqa, wal khatimi lima sabaqa, nasirul haqqi bil
haqqi, wal hadi ila shiratil mustaqim, wa ala alihi haqqa qadrihi wa miqdarihil
adzim (Ya, Tuhanku! Berikanlah rahmat kepada penghulu kami Muhammad, yang
terbuka baginya apa yang tertutup, yang menjadi penutup bagi semua yang sudah
lampau, pembantu kebenaran dengan kebenaran, orang yang menunjuki kepada jalan
yang benar, begitu juga atas keluarganya sekadar yang layak dengan kadar yang
besar) lima puluh kali, dan bacaan “la ilaha illallah” (tidak ada Tuhan
melainkan Allah) seratus kali, kemudian barulah ditutup dengan do’a yang
dinamakan Jauharatul kamal, sebanyak dua belas kali, didapat dalam kitab
“Fathur Rabbani”, pada halaman enam puluh. Sebenarnya pembacaan wazifah ini
boleh petang hari tapi yang baik adalah pada malam harinya, sekurang-kurangnya
dua kali, pagi dan sore. Khusu pada hari Jum’at, terdiri dari dzikir tahlil dan
Allah, Allah, sebanyak yang tidak ditentukan sejak sudah sembahyang Ashar
sampai terbenamnya matahari.[49]
7. Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah muncul sebagai tarekat sufi sekitar tahun 1850-an atas
kreativitas seorang syaikh sufi asal Kalimantan, yaitu Ahmad Khatib Sambasi
yang pernah bermukim di Makkah. Ia menyatukan dan mengembangkan metode
spiritual dua tarekat sufi besar, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi
satu tarekat yang saling melengkapi yang dalam mengantarkan seseorang pada
pencapaian spiritual. Secara universal, ajarannya sama dengan tarekat sufi
lainnya, yakni memberikan keseimbangan secara mendalam bagi para anggotanya
dalam menjalankan syariat Islam dan memelihara segala aspek yang ada di
dalamnya. Selain itu, melalui metode “psikologis-moral”, Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah berusaha membimbing seseorang agar dapat memahami dan
merasakan hakikat beribadah kepada Tuhannya secara sempurna serta membentuk
serta membentuk kesadaran kolektif dalam membangun kesatuan jamaah spiritual
dan moral.[50]
Sebagai lembaga
keagamaan, secara tidak langsung Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah telah
membangun sistem sosial-organik yang cukup kuat di kalangan masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa. Hal ini karena tarekat itu selalu mengembangkan tiga
aspek (tradisi) yang terus diperkenalkan dan diajukan, terutama kepada para
anggota jamaahnya. Ketiga aspek itu adalah: pertama, ajaran pusat teladan (the
doctrine of the exemplary centre) terhadap guru spiritual: syaikh, khalifah
atau badal-nya (pengganti sementara saat syaikh atau khalifah tidak ada –pen).
Kedua, ajaran keruhanian bertingkat (the doctrine of the graded spirituality)
bagi seluruh anggotanya dalam menaiki jenjang spiritual secara kompetitif dan
terbuka. Ketiga, ajaran tentang lingkungan atau wilayah ideal (the doctrine of
the theatre centre), suatu zona yang meniscayakan nilai-nilai keagamaan dapat
terlaksana dan terpelihara dengan baik.[51]
Zamakhsyari Dhofier
menyebutkan bahwa di tahun tujuh puluhan, empat pusat utama TQN di Jawa, yaitu:
Rejoso, Jombang di bawah pimpinan Kiai Tamim; Mranggen dipimpin oleh Kiai
Muslih, Suryalaya, Tasikmalaya di bawah pimpinan K.H. Shohibulwafa Tajul
‘Arifin (Abah Anom); dan Pegentongan, Bogor dipimpin oleh Kiai Thohir Falak.
Silsilah Rejoso didapat dari jalur Ahmad Hasbullah, Suryalaya dari jalur Kiai
Tholhah. Cirebon dan yang lainnya dari jalur Syaikh ‘Abd al-Karim Banten dan
khalifah-khalifah.[52]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat diambil kesimpulan antara lain:
Istilah tarekat diambil dari bahasa Arab
thariqah yang berarti jalan atau metode. Sedangkan pengertian tarekat secara
istilah adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah,
dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf. Ia bisa juga berarti sebuah
pengorganisasian dari tasawuf.
Unsur-unsur terpenting
dalam tarekat ada lima: 1. Mursyid (guru), 2. Baiat (janji setia), 3. Silsilah
(hubungan antar guru), 4. Murid, dan 5. Ajaran.
Adapun tujuan utama pendirian berbagai
tarekat oleh para sufi adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa
merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan
ibadah yang terarah dan sempurna.
Pada awalnya, tarekat
itu merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang
tertentu. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu
diamalkan oleh Ali ibn Abi Thalib. Kemudian kemunculan tarekat sendiri diawali
dengan pengklasifikasian antara syariat, tahriqat, haqiqat, dan makrifat oleh
para sufi. Barulah pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi muncul tarekat
sebagai kelanjutan dari pemikiran kaum sufi tersebut. Sedangkan kehadiran
tarekat di Indonesia sama tuanya dengan kehadiran Islam. Namun hanya ada
beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia.
Dalam perkembangannya, tarekat-tarekat
terpecah menjadi banyak sesuai guru dan keadaan lingkungan masing-masing. Ada
41 macam tarekat-tarekat yang dianggap sah, adapun yang berkembang di Indonesia
antara lain:
1. Tarekat
Qadiriyah
2. Tarekat
Syadziliyah
3. Tarekat
Naqsyabandiyah
4. Tarekat
Khalwatiyah
5. Tarekat
Syattariyah
6. Tarekat
Sammaniyah
7. Tarekat
Tijaniyah
8. Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
B. Saran
Dalam memahami tarekat
tidak cukup hanya dengan mempelajari sekilas saja. Karena seluk-beluk tarekat sangatlah
rumit dan penuh dengan teka-teki. Sebab ruang lingkup tarekat adalah spiritual
yang tidak bisa dipelajari kecuali dengan pengalaman batiniyah tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboebakar,
1985. Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik). Solo: Ramad hani.
Burhani, Ahmad
Najib, 2002. Tarekat tanpa Tarekat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Mulyati, Sri,
dkk, 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Said, H.A.
Fuad, 2005. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Sila, Muh.
Adlin, dkk, 2007. Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di tengah
Kehidupan Modern. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.
Thohir, Ajid,
2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar